terangkita.com - Di tengah kompetisi global
dan disrupsi teknologi yang semakin cepat, banyak organisasi runtuh bukan
karena serangan dari luar, tetapi karena retakan dari dalam. Ketidakharmonisan
tim, komunikasi buruk, dan kepemimpinan yang kaku menjadi racun yang bekerja
perlahan namun pasti melemahkan fondasi organisasi.
Fenomena ini bukan hal baru.
Patrick Lencioni dalam bukunya The Five Dysfunctions of a Team menyebut
bahwa kegagalan organisasi sering dimulai dari hilangnya kepercayaan di antara
anggota tim. Saat kepercayaan sirna, muncul rasa takut untuk terbuka, saling
menyalahkan, dan menghindari tanggung jawab.
Kepercayaan yang rusak
menciptakan budaya defensif. Alih-alih berkolaborasi, anggota tim lebih sibuk
melindungi diri sendiri. Hal ini menjadi benih munculnya sabotase halus — bukan
dalam bentuk perusakan, tetapi dengan cara menahan informasi, menunda pekerjaan,
atau menolak berinovasi.
Charles Perrow dalam Normal
Accidents menyoroti bahwa sistem yang terlalu kompleks sering kali
menciptakan “kecelakaan yang tak terhindarkan”. Dalam konteks organisasi,
struktur yang berlapis-lapis tanpa komunikasi yang jelas justru memperbesar
risiko kesalahan dan salah arah.
Ketika hal-hal tak terduga
muncul, organisasi yang tidak siap sering kali goyah. Karl Weick dan Kathleen
Sutcliffe dalam Managing the Unexpected menjelaskan pentingnya membangun
organisasi yang tangguh (resilient organization)—yakni yang belajar
cepat dari kesalahan dan mampu beradaptasi di tengah ketidakpastian.
Salah satu penyebab utama
kegagalan adalah cara organisasi merespons perubahan. John Kotter dalam Leading
Change menemukan bahwa sebagian besar inisiatif perubahan gagal karena
tidak adanya “sense of urgency”. Banyak pemimpin terlalu lama berpuas diri
hingga akhirnya perubahan datang terlambat.
Kelemahan lain muncul dari
bias berpikir internal. Phil Rosenzweig dalam The Halo Effect
mengingatkan bahwa banyak manajer tertipu oleh kesuksesan masa lalu, sehingga
menolak kritik dan gagal membaca tanda-tanda penurunan kinerja. Mereka percaya
keberhasilan kemarin akan menjamin hari esok — padahal kenyataannya tidak
demikian.
Dalam organisasi besar,
pembenaran diri juga menjadi penyakit yang sulit disembuhkan. Buku Mistakes
Were Made (But Not by Me) karya Carol Tavris dan Elliot Aronson menjelaskan
bagaimana manusia cenderung menolak mengakui kesalahan demi menjaga ego.
Akibatnya, organisasi tidak belajar dari kegagalan, melainkan mengulanginya.
Salah satu solusi yang
diusulkan berbagai pakar adalah membangun budaya komunikasi terbuka. Patterson
dkk. dalam Crucial Conversations menegaskan bahwa pembicaraan sulit
harus dilakukan, bukan dihindari. Konflik yang sehat justru memperkuat tim
karena memungkinkan klarifikasi masalah sejak awal.
Struktur organisasi juga
perlu berubah. Frédéric Laloux dalam Reinventing Organizations
menampilkan contoh organisasi modern yang berhasil dengan menerapkan prinsip self-management.
Artinya, anggota tim diberi kepercayaan penuh untuk mengambil keputusan tanpa
birokrasi yang berbelit.
Dalam konteks kepemimpinan,
General Stanley McChrystal melalui Team of Teams mengajarkan pentingnya
kolaborasi lintas divisi. Ia menekankan bahwa struktur hierarkis tradisional
tidak lagi efektif menghadapi dunia yang bergerak cepat. Adaptivitas dan
transparansi menjadi kunci utama.
Namun, semua strategi di atas
tidak akan berarti tanpa satu hal penting: keteladanan pemimpin. Pemimpin yang
jujur mengakui kelemahan, terbuka terhadap kritik, dan memberi ruang bagi ide
baru, akan menularkan energi positif kepada seluruh tim.
Untuk memulihkan organisasi
yang rapuh, langkah pertama bukanlah mengganti sistem, melainkan memperbaiki
hubungan antar manusia di dalamnya. Organisasi hanyalah refleksi dari perilaku
kolektif orang-orang yang ada di dalamnya.
Setiap organisasi perlu
secara rutin melakukan organizational health check — audit internal yang
menilai tingkat kepercayaan, komunikasi, dan kolaborasi. Ini bukan untuk
mencari siapa yang salah, tetapi untuk menemukan pola yang menghambat kemajuan
bersama.
Di era di mana inovasi menjadi penentu keberlangsungan, kekuatan organisasi bukan hanya pada teknologi atau modal, tetapi pada kemampuannya untuk belajar, beradaptasi, dan memulihkan diri. Karena pada akhirnya, organisasi yang sehat bukanlah yang bebas dari masalah, melainkan yang mampu bangkit setiap kali menghadapi krisis.
“Organisasi yang tangguh
bukanlah yang sempurna, tetapi yang mampu belajar lebih cepat dari kegagalannya
sendiri.” — Weick & Sutcliffe
Viewers