Jakarta, 25 Agustus 2025 - Harapan
rakyat kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai corong aspirasi ternyata
semakin jauh dari kenyataan. Alih-alih menghadirkan solusi, berbagai kebijakan
dan sikap anggota dewan justru melukai hati rakyat. Kondisi ini kian nyata
terlihat dalam gelombang demonstrasi besar yang berlangsung di depan Gedung
DPR/MPR RI hari ini.
Massa yang terdiri dari
mahasiswa, pelajar, hingga pengemudi ojek online turun ke jalan, menuntut DPR
membatalkan tunjangan dan gaji baru yang dinilai tidak masuk akal. Tuntutan itu
lahir dari rasa kecewa mendalam, sebab rakyat sedang bergulat dengan harga
kebutuhan pokok dan lapangan kerja yang sulit, sementara wakilnya justru asyik
memperjuangkan kepentingan sendiri.
Kekecewaan ini merefleksikan
krisis kepercayaan yang serius. DPR seharusnya menjadi rumah rakyat, tempat
aspirasi dibawa dan diperjuangkan, namun nyatanya masyarakat melihatnya sebagai
ruang yang jauh dari nurani rakyat. Keputusan yang lahir sering kali dianggap
lebih mementingkan segelintir elit ketimbang kebutuhan masyarakat luas.
Kericuhan dalam demonstrasi
siang ini menjadi simbol nyata jarak yang makin melebar antara rakyat dan
wakilnya. Polisi terpaksa menembakkan gas air mata dan water cannon untuk
membubarkan massa. Namun di balik kericuhan itu, ada pesan jelas: rakyat merasa
sakit hati dan kecewa.
Pemerintah, lewat Menko Hukum
Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa menyampaikan aspirasi adalah bagian dari
demokrasi. Ia mengingatkan agar masyarakat tetap menyampaikan pendapat secara
tertib. Namun, di sisi lain, pesan moral rakyat sudah terlanjur sampai: DPR
harus bercermin dan mengubah arah.
Pengamat politik menilai,
akar masalah ini bukan sekadar soal tunjangan. Lebih dalam, rakyat merasakan
ketidakadilan sosial. Saat jurang ekonomi melebar, DPR justru menampilkan wajah
kemewahan. Kontras ini yang membuat rakyat menilai DPR tidak lagi merakyat.
Tidak semua anggota DPR bisa
disamaratakan. Masih ada wakil-wakil rakyat yang bekerja keras memperjuangkan
aspirasi di dapilnya, mendengar keluhan masyarakat, dan turun langsung ke
lapangan. Sayangnya, citra buruk segelintir anggota yang mengejar kepentingan
pribadi menenggelamkan mereka.
Momen demonstrasi ini
seharusnya menjadi alarm keras bagi DPR. Tanpa perubahan nyata, krisis
kepercayaan bisa berujung pada krisis legitimasi. Jika rakyat tak lagi percaya,
maka eksistensi DPR sebagai lembaga wakil rakyat bisa dipertanyakan.
Kini, bola ada di tangan
anggota DPR. Apakah mereka akan terus berjalan dengan cara lama, atau memilih
kembali ke jalur yang seharusnya: jalur rakyat? Hanya dengan merakyat, DPR bisa
memulihkan kembali kepercayaan yang hilang.
Pada akhirnya, rakyat tidak
menuntut banyak. Mereka hanya ingin wakilnya benar-benar menjadi “wakil”, bukan
sekadar penghuni kursi empuk di Senayan. Tugas DPR adalah menyembuhkan luka,
bukan menambah derita. Jika itu bisa diwujudkan, mungkin masih ada harapan bagi
lembaga ini untuk kembali dihormati.
Viewers