Banjir Sumatera 2025: Saat Kita Dipaksa Bercermin pada Hutan yang Hilang

terangkita.com - Banjir bandang dan longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 bukan sekadar berita duka musiman; ini adalah cermin besar yang Tuhan letakkan di depan kita. Dalam rentang beberapa hari saja, hujan lebat yang dipicu Siklon Senyar mengubah sungai menjadi arus liar, desa menjadi lautan lumpur, dan ribuan keluarga kehilangan rumahnya. Data BNPB mencatat ratusan korban jiwa, lebih dari delapan ratus orang meninggal dan ratusan lainnya masih hilang, dengan lebih dari ratusan ribu warga terpaksa mengungsi.

Secara meteorologis, banjir ini memang dipicu oleh curah hujan ekstrem yang jarang terjadi. Namun para ahli lingkungan dan pegiat kehutanan mengingatkan: bencana sebesar ini tidak mungkin terjadi tanpa luka lama di tubuh Pulau Sumatra, kerusakan hutan, alih fungsi lahan, dan penebangan liar yang telah berlangsung bertahun-tahun. Hutan yang dulu menjadi “payung” dan “spons” alami, kini berubah menjadi lereng gundul dan kebun industri yang tidak mampu menahan derasnya air.

Gambaran di lapangan mempertegas hubungan itu. Di banyak aliran sungai, warga dan relawan menyaksikan tumpukan kayu gelondongan dan batang-batang yang jelas bukan tumbang alami, hanyut bersama lumpur ke permukiman. Di beberapa daerah, banjir datang bukan hanya membawa air, tetapi juga kayu-kayu yang menghantam rumah dan jembatan, mempercepat kerusakan dan memperbesar korban. Visual kayu hasil tebangan yang terseret arus ini memicu kemarahan publik dan mempertanyakan: dari mana semua ini berasal, dan siapa yang diuntungkan dari hutan yang hilang itu?

Hingga awal Desember, angka duka terus bertambah. Laporan resmi mencatat ratusan orang meninggal, ratusan hilang, ribuan luka-luka, serta lebih dari 800 ribu jiwa mengungsi. Tiga provinsi telah menetapkan status tanggap darurat, dan puluhan kecamatan masih terisolasi karena akses jalan dan jembatan terputus. Di pengungsian, anak-anak belajar tidur dengan suara hujan yang menakutkan, sementara orang tua mereka menggenggam kartu keluarga yang basah, satu-satunya tanda bahwa mereka masih punya identitas setelah rumah dan harta benda hilang.

Semua itu mengingatkan kita bahwa hutan bukan sekadar deretan pohon di peta. Akar-akar pohon yang dulu meresap air kini digantikan aspal dan beton; tutupan hijau berganti jadi tambang terbuka dan kebun monokultur. Penelitian menunjukkan bahwa sejak 2001 hingga 2024, Sumatra telah kehilangan jutaan hektare hutan, luasnya lebih besar daripada satu negara kecil di Eropa, membuat pulau ini jauh lebih rentan terhadap banjir dan longsor ketika hujan ekstrem datang.

Di balik kerusakan itu, ada jejak penebangan liar dan eksploitasi yang kelewat batas. Aparat penegak hukum di Sumatera Barat bahkan telah membentuk tim khusus untuk menyelidiki praktik illegal logging di hulu sungai yang dilanda banjir bandang. Di saat yang sama, pemerintah pusat berjanji akan menindak tegas pelanggaran izin tambang dan perkebunan yang diduga memperparah kerusakan lingkungan. Namun publik bertanya: mengapa langkah tegas baru terdengar lantang ketika banjir sudah merenggut begitu banyak nyawa?

Karena itu, banjir Sumatera 2025 seyogianya tidak hanya kita baca sebagai musibah, tetapi juga sebagai peringatan keras agar kita mengubah cara memandang alam. Tentu, pemerintah dan korporasi memikul tanggung jawab besar dalam penegakan hukum dan tata kelola hutan. Namun masyarakat pun punya peran: dalam cara kita memilih produk, dalam kebiasaan membuang sampah, dalam keberanian bertanya dari mana asal kayu dan komoditas yang kita konsumsi, dan dalam kepedulian terhadap isu lingkungan yang selama ini sering kita anggap “jauh dari rumah”, padahal kini air bahnya sudah mengetuk pintu kita sendiri.

Akhirnya, banjir ini bisa menjadi titik balik bila kita mau belajar. Jika hutan yang tersisa dijaga, kawasan yang rusak direstorasi, izin-izin yang bermasalah benar-benar dievaluasi, dan masyarakat dilibatkan dalam pengawasan, maka Pulau Sumatra tidak hanya bangkit dari lumpur, tetapi juga melangkah menuju masa depan yang lebih siap menghadapi cuaca ekstrem. Semoga duka di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi renungan bersama: bahwa setiap batang pohon yang kita biarkan tumbuh adalah doa agar anak cucu kita tidak lagi belajar tentang banjir dari tenda pengungsian, melainkan dari buku sejarah yang bercerita tentang bangsa yang akhirnya sadar dan berbalik menjaga alamnya.

post post